Selasa, 20 Maret 2012

HAK ISTERI ATAS SUAMI

Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya menikah  dengan  seorang  laki-laki  yang  usianya lebih  tua  daripada saya dengan selisih lebih dari dua puluh tahun. Namun,  saya  tidak  menganggap  perbedaan usia    sebagai   penghalang   yang  menjauhkan   saya daripadanya atau membuat saya lari  daripadanya.  Kalau dia  memperlihatkan  wajah,  lisan,  dan hatinya dengan baik sudah barang tentu hal  itu  akan  melupakan  saya terhadap  perbedaan  usia ini. Tetapi sayang, semua itu tak saya peroleh. Saya tidak pernah  mendapatkan  wajah yang  cerah,  perkataan  manis, dan perasaan hidup yang menenteramkan.   Dia   tidak   begitu   peduli   dengan keberadaan saya dan kedudukan saya sebagai isteri. 

Dia  memang  tidak  bakhil  dalam  memberi  nafkah  dan pakaian, sebagaimana dia juga  tidak  pernah  menyakiti badan  saya.  Tetapi,  tentunya  bukan  cuma  ini  yang diharapkan oleh seorang isteri terhadap suaminya.  Saya melihat  posisi  saya  hanya sebagai objek santapannya, untuk  melahirkan  anak,  atau   sebagai   alat   untuk bersenang-senang  manakala  ia  butuh bersenang-senang. Inilah yang menjadikan saya merasa  bosan,  jenuh,  dan hampa.  Saya  merasakan  hidup  ini sempit. Lebih-lebih bila saya melihat teman-teman saya yang  hidup  bersama suaminya   dengan   penuh  rasa  cinta,  tenteram,  dan bahagia.
Pada suatu kesempatan saya  mengadu  kepadanya  tentang sikapnya  ini,  tetapi  dia  menjawab  dengan bertanya, "Apakah aku kurang dalam  memenuhi  hakmu?  Apakah  aku bakhil dalam memberi nafkah dan pakaian kepadamu?"

Masalah  inilah  yang ingin saya tanyakan kepada Ustadz agar suami isteri  itu  tahu:  Apakah  hanya  pemenuhan kebutuhan  material  seperti makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal itu saja yang  menjadi  kewajiban  suami terhadap  isterinya  menurut hukum syara'? Apakah aspek kejiwaan tidak ada nilainya  dalam  pandangan  syari'at Islam yang cemerlang ini?
Saya,  dengan  fitrah  saya  dan  pengetahuan saya yang rendah ini, tidak percaya kalau ajaran Islam  demikian. Karena  itu, saya mohon kepada Ustadz untuk menjelaskan aspek psikologis  ini  dalam  kehidupan  suami  isteri, karena hal itu mempunyai dampak yang besar dalam meraih kebahagiaan dan kesakinahan sebuah rumah tangga.
Semoga Allah menjaga Ustadz.

JAWABAN
Apa yang  dipahami  oleh  saudara  penanya  berdasarkan fitrahnya   dan  pengetahuan  serta  peradabannya  yang rendah itu  merupakan  kebenaran  yang  dibawakan  oleh syari'at Islam yang cemerlang.

Syari'at   mewajibkan   kepada   suami  untuk  memenuhi kebutuhan  isterinya  yang  berupa  kebutuhan  material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing- masing,  atau seperti  yang  dikatakan  oleh  Al  Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut)

Namun,   Syari'at   tidak   pernah    melupakan    akan kebutuhan-kebutuhan  spiritual  yang  manusia  tidaklah bernama     manusia     kecuali      dengan      adanya kebutuhan-kebutuhan  tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga  kuno:  "Maka  karena  jiwamu  itulah   engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."

Bahkan  Al Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat diantara ayat-ayat Allah di alam semesta  dan salah    satu    nikmat   yang   diberikan-Nya   kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya:
"Dan  diantara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah   Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa  tenteram  kepadanya, dan  dijadikan-Nya  diantaramu  rasa  kasih dan sayang. Sesungguhnya  pada  yang   demikian   itu   benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Rum: 21)

Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup  bersuami isteri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih saying antara  keduanya,  yang  semua  ini   merupakan   aspek kejiwaan,  bukan  material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami isteri yang  sunyi  dari  aspek-aspek  maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.

Dalam  hal  ini banyak suami yang keliru - padahal diri mereka sebenarnya baik - ketika  mereka  mengira  bahwa kewajiban  mereka  terhadap isteri mereka ialah member nafkah, pakaian, dan tempat  tinggal,  tidak  ada  yang lain  lagi.  Dia  melupakan  bahwa  wanita (isteri) itu bukan hanya  membutuhkan  makan,  minum,  pakaian,  dan lain-lain  kebutuhan  material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik,  wajah  yang  ceria,  senyum  yang manis,   sentuhan   yang  lembut,  ciuman  yang  mesra, pergaulan yang penuh kasih  sayang,  dan  belaian  yang lembut   yang   menyenangkan   hati  dan  menghilangkan kegundahan.

Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami isteri dan adab   pergaulan   diantara   mereka   yang   kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua  itu. Diantara  adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang  baik  terhadapnya  dan sabar dalam menghadapi godaannya. Allah berfirman:

"...  Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara yang ma'ruf (patut) ..., An Nisa': 19)  
"... Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil  dari kamu perjanjian yang kuat." (An Nisa': 21)
"...  Dan  berbuat  baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,  anak-anak  yatim,  orang-orang  miskin, tetangga  yang  dekat  dan  tetangga  yang  jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu ...." (An Nisa: 36)

Ada  yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat di atas ialah isteri.
Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak  baik kepada  mereka  (isteri)  bukan  cuma  tidak  menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka,  dan penyantun  ketika  mereka  sedang  emosi  serta  marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah saw.  Isteri-isteri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula  salah  seorang  dari mereka menghindari beliau sehari semalam.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu kalau engkau  marah  dan  kalau  engkau  rela."  Aisyah bertanya,  "Bagaimana  engkau  tahu?"  Beliau menjawab, "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi  Tuhan Muhammad,'  dan  bila  engkau  marah,  engkau  berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.' Aisyah  menjawab,  "Betul, (kalau   aku  marah)  aku  hanya  menghindari  menyebut namamu."

Dari adab  yang  dikemukakan Imam  Ghazali  itu  dapat ditambahkan  bahwa  disamping  bersabar  menerima  atau menghadapi kesulitan isteri, juga  bercumbu,  bergurau, dan  bermain-main  dengan  mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan  hati  wanita.  Rasulullah  saw. biasa   bergurau   dengan   isteri-isteri   beliau  dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan   berakhlak,  sehingga  diriwayatkan  bahwa  beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar r.a. - yang dikenal berwatak keras  itu  -  pernah berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah seorang laki-laki."

Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah  membenci alja'zhari  al-jawwazh,"  dikatakan bahwa yang dimaksud ialah  orang  yang  bersikap  keras   terhadap   isteri (keluarganya)   dan   sombong  pada  dirinya.  Dan  ini merupakan salah satu makna  firman  Allah:  'utul.  Ada yang  mengatakan  bahwa  lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.

Keteladanan tertinggi bagi semua itu  ialah  Rasulullah saw.   Meski   bagaimanapun   besarnya   perhatian  dan banyaknya kesibukan beliau dalam  mengembangkan  dakwah dan  menegakkan  agama,  memelihara jama'ah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh  yang  senantiasa  mengintainya dari luar, beliau tetap  sangat  memperhatikan  para  isterinya.   Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat,  membaca  Al-Qur'an, dan berzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya  berdiri  ketika  melakukan  shalat  lail,  dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun,  sesibuk  apa  pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak isteri-isteri beliau yang harus beliau  penuhi. Jadi,  aspek-aspek  Rabbani  tidaklah  melupakan beliau terhadap aspek  insani  dalam  melayani  mereka  dengan memberikan  makanan  ruhani  dan  perasaan  mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.

Dalam  menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli isteri, Imam Ibnu Qayyim berkata:
"Sikap Rasulullah saw. terhadap isteri-isterinya  ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar  menemani  Aisyah  bermain. Apabila  isterinya  (Aisyah)  menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah  minum  dari  suatu  bejana,  maka  beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan  mulut  beliau  di  tempat  mulut  Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan  beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."

Beliau  biasa  bersandar  di  pangkuan  Aisyah,  beliau membaca  Al  Qur'an  sedang  kepala  beliau  berada  di pangkuannya.  Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau  menyuruhnya   memakai   sarung,   lalu   beliau memeluknya.  Bahkan,  pernah  juga  menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.

Diantara kelemahlembutan dan akhlak  baik  beliau  lagi ialah   beliau   memperkenankannya  untuk  bermain  dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang  Habsyi ketika  mereka  sedang  bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau  untuk  melihat permainan  orang-orang  Habsyi  itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan  keluar  dari rumah bersama-sama.

Sabda Nabi saw:
"Sebaik-baik  kamu  ialah  yang  paling  baik  terhadap keluarganya, dan aku  adalah  orang  yang  paling  baik terhadap keluargaku."

Apabila   selesai   melaksanakan   shalat  ashar,  Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi)  isteri-isterinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah isteri beliau yang pada waktu itu tiba  giliran  beliau  untuk  bermalam. Aisyah berkata, "Rasulullah  saw.  tidak   melebihkan   sebagian   kami terhadap  sebagian  yang  lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati  tiap-tiap  isteri beliau tanpa menyentuhnya, hingga  sampai  kepada  isteri  yang  menjadi   giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ."1
Kalau  kita  renungkan apa yang telah kita kutip disini mengenai petunjuk Nabi saw.  tentang  pergaulan  beliau dengan  isteri-isteri  beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan   mendekati  mereka.  Tetapi  beliau  mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih, namun ini bukan  berarti beliau   bersikap  pilih  kasih,  tetapi  karena  untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau  mengawini  Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang  laki-laki  pun  selain  beliau. Kebutuhan  wanita  muda  seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan disini bukan  sekadar  nafkah,  pakaian,  dan hubungan biologis saja, bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting  dan  lebih  dalam  daripada semua  itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat  Nabi  saw.  selalu  ingat  aspek  tersebut   dan senantiasa   memberikan   haknya   serta  tidak  pernah melupakannya  meskipun  tugas  yang  diembannya  besar, seperti  mengatur  strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.
"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu."
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Catatan kaki: 
1 Zadul Ma'ad 1:78-79, terbitan Sunnah Muhammadiyyah.

SAYA MUDAH TERANGSANG

Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya adalah seorang pelajar sekolah lanjutan. Saya cinta kepada agama dan tekun beribadah. Tetapi saya menghadapi suatu kendala, yaitu mudah terangsang bila melihat pemandangan yang membangkitkan syahwat, dan hampir-hampir saya tidak dapat menguasai diri dalam hal ini. Keadaan ini membuat saya repot karena harus sering mandi dan mencuci pakaian dalam. Bagaimana saran Ustadz untuk memecahkan problematika ini sehingga saya dapat memelihara agama dan ibadah saya dengan baik?

JAWABAN:
Pertama, saya berdoa semoga Allah memberi berkah kepada Anda, pemuda yang begitu besar perhatiannya terhadap agama yang lurus ini, dan saya minta kepada Anda agar senantiasa berpegang teguh dengannya dan tetap antusias kepadanya, jauh dari teman-teman yang jelek perilakunya, serta senantiasa menjaga agama dari gelombang materialisme dan kebebasan, yang telah banyak merusak pemuda-pemuda dan remaja-remaja kita. Juga saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa Anda bisa termasuk anggota tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah pada hari tidak ada lagi naunngan selain naungan-Nya, selama Anda taat kepada-Nya. 

Kedua, saya nasihatkan kepada saudara penanya agar memeriksakan diri kepada dokter spesialis, barangkali problema yang dihadapi itu semata-mata berkaitan dengam suatu organ tubuh tertentu, dan para dokter ahli tentunya memiliki obat untuk penyakit seperti ini. Allah berfirman: 

"... maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An Nahl: 43)

Rasulullah saw. bersabda:
"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Ia juga menurunkan obat untuknya." (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah) 

Ketiga, saya nasihatkan juga kepada Anda agar menjauhi - sekuat mungkin - segala hal yang dapat membangkitkan syahwatnya dan menjadikannya menanggung beban serta kesulitan (mandi dan sebagainya). Adalah suatu kewajiban bagi setiap mukmin untuk tidak menempatkan dirinya di tempat-tempat yang dapat menimbulkan kesukaran bagi dirinya dan menutup semua pintu tempat berhembusnya angin fitnah atas diri dan agamanya. Simaklah kata-kata hikmah berikut:

"Orang berakal itu bukanlah orang yang pandai mencari-cari alasan untuk membenarkan kejelekannya setelah terjatuh kedalamnya, tetapi orang berakal ialah orang yang pandai menyiasati kejelekan agar tidak terjatuh ke dalamnya." Diantara tanda orang salih ialah menjauhi perkara-perkara yang syubhat sehingga tidak terjatuh ke dalam perkara yang haram, bahkan menjauhi sebagian yang halal sehingga tidak terjatuh kedalam yang syubhat. Rasulullah saw. Bersabda: "Tidaklah seorang hamba mencapai derajat muttaqin (orang yang takwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak terlarang karena khawatir terjatuh pada yang terlarang." (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari Athiyyah as-Sa'di dengan sanad sahih) 

Keempat, setiap yang keluar dari tubuh manusia – karena melihat pemandangan-pemandangan yang merangsang – belum tentu mani (yang hukumnya wajib mandi jika ia keluar). Boleh jadi yang keluar itu adalah madzi, yaitu cairan putih, jernih, dan rekat, yang keluar ketika sedang bercumbu, atau melihat sesuatu yang merangsang, atau ketika sedang mengkhayalkan hubungan seksual. Keluarnya madzi tidak disertai syahwat yang kuat, tidak memancar, dan tidak diahkiri dengan kelesuan (loyo, letih), bahkan kadang-kadang keluarnya tidak terasa. Madzi ini hukumnya seperti hokum kencing, yaitu membatalkan wudhu (dan najis) tetapi tidak mewajibkan mandi. Bahkan Rasulullah saw. memberi keringanan untuk menyiram pakaian yang terkena madzi itu, tidak harus mencucinya.

Diriwayatkan dari Sahl bin Hanif, ia berkata, "Saya merasa melarat dan payah karena sering mengeluarkan madzi dan mandi, lalu saya adukan hal itu kepada Rasulullah saw., kemudian beliau bersabda, 'Untuk itu, cukuplah engkau berwudhu.' Saya bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana dengan yang mengenai pakaian saya? Beliau menjawab, 'Cukuplah engkau mengambil air setapak tangan, lalu engkau siramkan pada pakaian yang terkena itu.'" (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Beliau berkata, hasan sahih)
Menyiram pakaian (pada bagian yang terkena madzi) ini lebih mudah daripada mencucinya, dan ini merupakan keringanan serta kemudahan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam kondisi seperti ini yang sekiranya akan menjadikan melarat jika harus mandi berulang-ulang. Maha Benar Allah Yang Maha Agung yang telah berfirman:

"... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." (Al-Maa'idah: 6)

Wallahu a'lam.

BOLEHKAH BERDUAAN DENGAN TUNANGAN?

Dr. Yusuf Qardhawi
PERTANYAAN
Saya mengajukan lamaran (khitbah) terhadap seorang gadis melalui keluarganya, lalu mereka menerima dan menyetujui lamaran saya. Karena itu, saya mengadakan pesta dengan mengundang kerabat dan teman-teman. Kami umumkan lamaran itu, kami bacakan al-Fatihah, dan kami mainkan musik.

Pertanyaan saya: apakah persetujuan dan pengumuman ini dapat dipandang sebagai perkawinan menurut syari'at yang berarti memperbolehkan saya berduaan dengan wanita tunangan saya itu. Perlu diketahui bahwa dalam kondisi sekarang ini saya belum memungkinkan untuk melaksanakan akad nikah secara resmi dan terdaftar pada kantor urusan nikah (KUA).

JAWABAN
Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke sana.

Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin); adat kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami: "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya." (Al Baqarah: 235)

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq 'alaih) Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul.

Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.

Menurut ketetapan syara, yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewaiiban memberi mahar kepada isterinya separo harga. Allah berfirman:

"Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ..." (Al Baqarah: 237)

Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah.

Karena itu, nasihat saya kepada saudara penanya, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa.
Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram. Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama.

"... Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (Al Baqarah: 229)

"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (An Nur: 52)

HUKUM MENGOLEKSI PATUNG

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Bagaimana  hukum  patung  menurut  pandangan   Islam?   Saya mempunyai  beberapa buah patung pemuka Mesir tempo dulu, dan saya hendak memajangnya di rumah sebagai  perhiasan,  tetapi ada  beberapa orang yang mencegahnya dengan alasan bahwa hal itu haram. Benarkah pendapat itu?

JAWABAN

Islam mengharamkan patung dan semua  gambar  yang  bertubuh, seperti  patung  manusia dan binatang. Tingkat keharaman itu akan bertambah bila patung tersebut merupakan  bentuk  orang yang  diagungkan, semisal raja, Nabi, Al Masih, atau Maryam; atau berbentuk sesembahan para  penyembah  berhala,  semisal sapi  bagi  orang  Hindu.  Maka  yang  demikian  itu tingkat keharamannya semakin kuat sehingga kadang-kadang sampai pada tingkat  kafir  atau  mendekati  kekafiran,  dan  orang yang menghalalkannya dianggap kafir.

Islam sangat menaruh perhatian dalam memelihara tauhid,  dan semua hal yang akan bersentuhan dengan aqidah tauhid ditutup rapat-rapat.

Sebagian orang berkata, "Pendapat seperti ini berlaku  hanya pada  zaman berhala dan penyembahan berhala, adapun sekarang tidak ada lagi berhala dan penyembah  berhala."  Ucapan  ini tidak  benar,  karena pada zaman kita sekarang ini masih ada orang  yang  menyembah  berhala  dan  menyembah  sapi   atau binatang  lainnya.  Mengapa  kita mengingkari kenyataan ini? Bahkan di Eropa banyak kita jumpai orang yang tidak  sekadar menyembah  berhala.  Anda  akan  menyaksikan  bahwa pada era teknologi canggih ini mereka  masih  menggantungkan  sesuatu pada  tapal kudanya misalnya, atau pada kendaraannya sebagai tangkal.

Manusia pada setiap zaman selalu saja ada  yang  mempercayai khurafat.   Dan   kelemahan   akal   manusia   kadang-kadang menyebabkan  mereka  menerima  sesuatu  yang  tidak   benar, sehingga  orang  yang  mengaku berperadaban dan cendekia pun dapat terjatuh ke dalam lembah  kebatilan,  yang  sebenarnya hal  ini  tidak  dapat  diterima  oleh akal orang buta huruf sekalipun.

Islam  jauh-jauh  telah  mengantisipasi  hal  itu   sehingga mengharamkan  segala sesuatu yang dapat menggiring kebiasaan tersebut kepada  sikap  keberhalaan,  atau  yang  didalamnya mengandung  unsur-unsur  keberhalaan.  Karena  itulah  Islam mengharamkan patung. Dan patung-patung  pemuka  Mesir  tempo dulu termasuk ke dalam jenis ini.

Bahkan  ada orang yang menggantungkan patung-patung tersebut untuk  jimat,  seperti  memasang  kepala  "naqratiti"   atau lainnya  untuk  menangkal  hasad,  jin,  atau  'ain.  Dengan demikian,  keharamannya  menjadi   berlipat   ganda   karena bergabung antara haramnya jimat dan haramnya patung.

Kesimpulannya,   patung  itu  tidak  diperbolehkan  (haram), kecuali patung (boneka) untuk permainan anak-anak kecil, dan setiap muslim wajib menjauhinya.


HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Sebagian orang mengharamkan  semua  bentuk  nyanyian  dengan alasan firman Allah:

"Dan   diantara  nnanusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak  berguna  untuk  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." (Luqman: 6)

Selain   firman   Allah  itu,  mereka  juga  beralasan  pada penafsiran  para  sahabat  tentang  ayat  tersebut.  Menurut sahabat,  yang  dimaksud  dengan  "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.

Mereka juga beralasan pada ayat lain:

"Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat,  mereka  berpaling daripadanya ..." (Al Qashash: 55)

Sedangkan  nyanyian,  menurut  mereka,   termasuk   "laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).

Pertanyaannya,   tepatkah  penggunaan  kedua  ayat  tersebut sebagai dalil dalam  masalah  ini?  Dan  bagaimana  pendapat Ustadz  tentang  hukum  mendengarkan  nyanyian?  Kami  mohon Ustadz  berkenan  memberikan  fatwa  kepada  saya   mengenai masalah  yang  pelik  ini, karena telah terjadi perselisihan yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini,  sehingga memerlukan  hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih, semoga Allah  berkenan  memberikan  pahala  yang  setimpal   kepada Ustadz.

JAWABAN

Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para  fuqaha  kaum muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.

Mereka sepakat mengenai haramnya  nyanyian  yang  mengandung kekejian,   kefasikan,   dan   menyeret   seseorang   kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu  baik  jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek. Sedangkan  setiap  perkataan  yang menyimpang  dari  adab  Islam  adalah  haram. Maka bagaimana menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu  diiringi dengan  nada  dan  irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka juga sepakat tentang  diperbolehkannya  nyanyian  yang  baik pada  acara-acara  gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut  kedatangan  seseorang,  dan  pada  hari-hari raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan jelas.

Namun demikian, mereka berbeda  pendapat  mengenai  nyanyian selain   itu  (pada  kesempatan-kesempatan  lain).  Diantara mereka ada yang memperbolehkan semua  jenis  nyanyian,  baik dengan   menggunakan   alat   musik   maupun  tidak,  bahkan dianggapnya mustahab.  Sebagian  lagi  tidak  memperbolehkan nyanyian  yang  menggunakan  musik  tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali,  bahkan  menganggapnya haram (baik menggunakan music atau tidak).

Dari  berbagai  pendapat  tersebut,  saya  cenderung   untuk berpendapat  bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah  halal  selama  tidak  ada  nash  sahih  yang mengharamkannya.  Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas)  tetapi  tidak sahih,  atau  sahih  tetapi  tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.

Kita perhatikan ayat pertama:

"Dan  diantara  manusia  (ada)  orang   yang   mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."

Ayat  ini  dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.

Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang  dikemukakan  Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:

Pertama:  tidak  ada  hujah bagi seseorang selain Rasulullah saw. Kedua:  pendapat  ini  telah  ditentang  oleh  sebagian sahabat  dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan   argumentasi    mereka,    karena    didalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:

"'Dan   diantara  manusia  (ada)  orang  yang  mempergunakan perkataan yang tidak berguna  untulc  menyesatkan  (manusia) dari  jalan  Allah  tanpa  pengetahuan  dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan ..."

Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat  ini, maka  ia  dikualifikasikan  kafir  tanpa diperdebatkan lagi. Jika  ada  orang  yang  membeli  Al  Qur'an  (mushaf)  untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia  kafir.  Perilaku  seperti inilah  yang  dicela  oleh  Allah.  Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan  Allah.  Demikian  juga orang  yang  sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca Al Qur'an atau membaca  hadits,  atau  bercakap-cakap,  atau menyanyi  (mendengarkan  nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya   jika  semua  itu  tidak  menjadikannya  mengabaikan kewajiban kepada  Allah,  yang  demikian  tidak  apa-apa  ia lakukan."

Adapun ayat kedua:

"Dan   apabila   mereka   mendengar   perkataan  yang  tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."

Penggunaan  ayat  ini  sebagai  dalil   untuk   mengharamkan nyanyian  tidaklah  tepat,  karena  makna zhahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa  caci  maki dan  cercaan,  dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:

"Dan  apabila  mereka   mendengar   perkataan   yang   tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi  kami   amal-amal   kami   dan   bagimu   amal-amalmu, kesejahteraan  atas  dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)

Ayat   ini   mirip   dengan   firman-Nya   mengenai    sikap 'ibadurrahman  (hamba-hamba  yang  dicintai  Allah Yang Maha Pengasih):

"... dan apabila orang-orang jahil  menyapa  mereka,  mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63)

Andaikata  kita  terima  kata  "laghwu"  dalam ayat tersebut meliputi  nyanyian,  maka  ayat  itu  hanya  menyukai   kita berpaling  dari  mendengarkan  dan  memuji  nyanyian,  tidak mewajibkan berpaling darinya.

Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu  yang  tidak  ada  faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah  tidaklah  haram  selama  tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.

Diriwayatkan   dari   Ibnu   Juraij  bahwa  Rasulullah  saw.  memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan  kepada beliau:  "Apakah  yang  demikian  itu  pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?"  Beliau menjawab,  "Tidak  termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia  seperti  al  laghwu,  sedangkan  Allah SWT berfirman:

"Allah  tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89)

Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala  terhadap  sesuatu  dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan  menyelisihinya  karena  tidak  ada faedahnya  itu  tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?"

Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu  laghwu,  karena hukumnya  ditetapkan  berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu  yang  laghwu  (tidak bermanfaat)  sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan.  Dan  niat  yang  buruk menggugurkan  amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara batin  merupakan  riya'.  Dari  Abu  Hurairah   r.a.   bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya  Allah  tidak  melihat  rupa  kamu,  tetapi ia meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)

Baiklah saya kutipkan di  sini  perkataan  yang  disampaikan oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang yang  melarang  nyanyian.   Ibnu   Hazm   berkata:   "Mereka berargumentasi   dengan   mengatakan:  apakah  nyanyian  itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada  yang  ketiga?1  Allah SWT SWT berfirman:

"...   maka  tidak  ada  sesudah  kebenaran  itu,  melainkan kesesatan ..." (Yunus, 32)

HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN
Dr. Yusuf Qardhawi
 
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
 
"Sesungguhnya   amal   itu   tergantung   pada   niat,   dan sesungguhnya  tiap-tiap  orang  (mendapatkan)  apa  yang  ia niatkan."
 
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya  untuk  berbuat  maksiat  kepada  Allah  Ta'ala berarti  ia  fasik,  demikian pula terhadap selain nyanyian. Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk  menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang  yang  taat  dan  baik,  dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk  taat  juga  tidak  untuk  maksiat,  maka mendengarkan nyanyian  itu  termasuk   laghwu   (perbuatan   yang   tidak berfaedah)  yang  dimaafkan.  Misalnya,  orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya  dengan membuka  kancing  baju,  mencelupkan  pakaian untuk mengubah warna,   meluruskan    kakinya    atau    melipatnya,    dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."2
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya  memiliki  cacat,  tidak  ada satu  pun  yang  terlepas  dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau  kedua-duanya.  Al-Qadhi  Abu  Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya Al-Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih  yang  mengharamkannya." Demikian  juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu  Hazm  berkata:  "Semua  riwayat mengenai   masalah  (pengharaman  nyanyian)  itu  batil  dan palsu."
 
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah  gugur,  maka tetaplah  nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum asal. Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash  sahih yang  menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya kemukakan riwayat dalam shahih Bukhari  dan  Muslim  bahwa  Abu  Bakar pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw., ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,  lalu Abu  Bakar  menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas ada seruling setan di  rumah  Rasulullah?"  Kemudian  Rasulullah saw. menimpali:
 
"Biarkanlah  mereka,  wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya."
 
Disamping itu, juga tidak ada larangan  menyanyi  pada  hari selain  hari  raya.  Makna  hadits itu ialah bahwa hari raya termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan kegembiraan dengan   nyanyian,  permainan,  dan  sebagainya  yang  tidak terlarang.
 
Akan tetapi, dalam mengakhiri  fatwa  ini  tidak  lupa  saya kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
 
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan adab Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah rokok dan gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang telah menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji, termasuk perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya, penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya, dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan merokok itu sendiri jelas menimbulkan dharar.
   
Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta memuji-muji kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian yang bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana diserukan oleh Kitab Sucinya:
   
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)
   
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
   
Dan Rasulullah saw. bersabda:
   
"Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh melakukan pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua adalah risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
   
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
   
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan. Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor," tetapi penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada yang sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud membangkitkan nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram, seperti yang didengar banyak orang dengan teriakan-teriakan yang tidak sopan.
   
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai istri-istri Nabi saw.:
   
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga  berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya ..." (Al Ahzab: 32)
   
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan israf dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka bagaimana menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan dalam permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita waktu, meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini menunjukkan bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari melakukan kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan yang luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita kesempatan manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan mendalamnya apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak melihat israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya pasti ada hak yang terabaikan."
 
Bagi  pendengar  -  setelah  memperhatikan   ketentuan   dan  batas-batas  seperti  yang  telah saya kemukakan – hendaklah dapat   mengendalikan   dirinya.   Apabila   nyanyian   atau sejenisnya  dapat  menimbulkan  rangsangan dan membangkitkan syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya  tenggelam  dalam khayalan,   maka  hendaklah  ia  menjauhinya.  Hendaklah  ia menutup  rapat-rapat  pintu   yang   dapat   menjadi   jalan berhembusnya  angin  fitnah  kedalam  hatinya, agamanya, dan akhlaknya.
 
Tidak    diragukan    lagi    bahwa    syarat-syarat    atau ketentuan-ketentuan  ini  pada  masa sekarang sedikit sekali dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya, aturannya, temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan kehidupan orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak, dan nilai-nilai  yang  ideal.  Karena itu tidaklah layak seorang muslim memuji-muji mereka  dan  ikut  mempopulerkan  mereka, atau  ikut  memperluas  pengaruh mereka. Sebab dengan begitu berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
 
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim  untuk  mengekang dirinya,  menghindari  hal-hal yang syubhat, menjauhkan diri dari sesuatu  yang  akan  dapat  menjerumuskannya  ke  dalam lembah  yang  haram  -  suatu keadaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
 
Barangsiapa  yang  mengambil  rukhshah  (keringanan),   maka hendaklah  sedapat  mungkin  memilih  yang  baik,  yang jauh kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan nyanyian saja   begitu  banyak  pengaruh  yang  ditimbulkannya,  maka menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena  masuk ke  dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan agama seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos  dengan selamat (terlepas dari dosa).
 
Khusus  bagi  seorang wanita maka bahayanya jelas jauh lebih besar. Karena itu Allah mewajibkan  wanita  agar  memelihara dan  menjaga  diri  serta  bersikap  sopan dalam berpakaian, berjalan, dan berbicara,  yang  sekiranya  dapat  menjauhkan kaum  lelaki  dari  fitnahnya  dan menjauhkan mereka sendiri dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari  mulut-mulut kotor,  mata  keranjang,  dan keinginan-keinginan buruk dari hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
 
"Hai  Nabi  katakanIah   kepada   istri-istrimu,   anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan  jilbabnya  ke  seluruh  tubuh   mereka.'   Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
 
"... Maka janganlah kamu  tunduk  dalam  berbicara  sehingga berkeinginanlah  orang  yang  ada  penyakit di dalam hatinya ..." (Al Ahzab: 32)
 
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti menampilkan dirinya   untuk   memfitnah   atau  difitnah,  juga  berarti menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram. Karena banyak   kemungkinan  baginya  untuk  berkhalwat  (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya  dengan  alas an untuk  mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan kontrak, dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan wanita yang  ber-tabarruj  serta  berpakaian dan bersikap semaunya, tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar  haram  menurut syariat Islam.
 
Catatan kaki
 
1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain kebenaran dan kesesatan, (ed.)
2 Ibnu Hazm, Al Muhalla.
 

Anda pengunjung yang ke